Biografi Syarifah Sa’diyah al-Jufri
Syarifah Sa’diyah al-Jufri dilahirkan pada tanggal 15 Agustus 1937 di Kampung Baru yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Syarifah Sa’diyah merupakan anak bungsu dari pernikahan ke-6 Sayyid Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua) dan Hj. Ince Ami binti Daeng Sute atau yang dikenal dengan panggilan Ite. Kakak Syarifah Sa’diyah adalah Syarifah Sidah al-Jufri, lahir dua tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1935. Hj. Ince Ami atau yang oleh masyarakat Kaili dikenal dengan “Ite” merupakan keturunan bangsawan Kaili yang juga guru mengaji di Kampung Baru.
Masa Kecil
Perhatian terhadap pendidikan telah tertanam sejak usia dini dalam keluarga Syarifah Sa’diyah. Meskipun ayahnya sibuk dalam mengajar, namun di rumah mereka tetap mendapatkan pembelajaran rutin oleh sang ibu. Menurutnya, meski ibunya tidak sekolah, tapi ibunya adalah guru mengaji yang juga pintar menulis aksara dalam bahasa Bugis.
‘Kitorang (kami) masih kecil-kecil sudah pintar mengaji. Mulai dari umur 4 atau 5 tahun. Habis itu mengaji masing-masing.’ Demikian kisah Syarifah Sa’diyah mengenai keluarganya.
Selain belajar dari ibunya, Syarifah Sa’diyah juga pernah belajar kepada salah satu murid pertama Sayyid Idrus, yaitu Ustad Mahfud Godal yang pernah tinggal di rumah Ince Ami.
Pada tahun 1946, Syarifah Sa’diyah al-Jufri masuk madrasah Alkhairaat yang terletak di Jalan SIS Al-Jufri (Depan Hotel Palu city).
Menurut beliau, pada waktu itu telah dibuka Sekolah Dasar (SD) oleh pemerintah namun beliau belum diperkenankan oleh Sayyid Idrus untuk menimba ilmu di sekolah umum, tetapi hanya boleh sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Alkhairaat.
Syarifah Sa’diyah mengungkapkan bahwa keinginan untuk menjadi pintar merupakan salah satu motivasi yang membuat dirinya semakin giat dalam belajar. Hingga pada tahun 1948, Madrasah Ibtidaiyah Alkhairaat menerima pelajaran umum. Syarifah Sa’diyah al-Jufri menamatkan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Alkhairaat pada tahun 1951. Setelah itu, Guru Tua mengirimkannya ke keluarga yang ada di Pekalongan, Jawa Tengah, selama 1 tahun.
Masa Remaja
Pada tahun 1953, Syarifah Sa’diyah kembali ke Kota Palu dan melanjutkan pendidikan di Mualimin Alkhairaat. Pada waktu itu, mata pelajaran di Madrasah Mualimin Alkhairaat sudah berkembang dan tidak terbatas pada pelajaran agama, melainkan juga pelajaran umum, seperti bahasa Indonesia, dan Aljabar. Pada waktu itu belum ada mata pelajaran Matematika. Dalam penuturan Syarifah Sa’diyah bahwa ketika di Mualimin Alkhairaat, untuk pertama kalinya dirinya belajar kepada ayahnya dalam satu kelas.
Dari jenjang Mu’allimin inilah kapasitas Syarifah Sa’diyah sebagai guru perempuan atau ustadzah yang pertama di Alkhairaat mulai digembleng di bawah pengawasan langsung oleh Guru Tua.
Pada masa itu, Syarifah Sa’diyah menjembatani pembacaan kitab bagi para murid perempuan yang ingin belajar kepada Sayyid Idrus di rumah. Hal tersebut juga diakui oleh beberapa ustadzah yang di lingkungan Alkhairaat. Salah satu kitab yang dibaca dalam pembelajaran model girah pada waktu itu adalah al-Adzkar karya al-Imam al-Nawawi al-Syafi’i.
Masa Dewasa
Memasuki masa dewasa, semakin kuat tekad Syarifah Sa’diyah untuk menjadi tenaga pengajar di Madrasah Ibtidaiyah Alkhairat. Terlebih, tekad ini mendapatkan dukungan dari sang ibu, Ince Ami. Sebagai salah satu guru mengaji perempuan di Kampung Baru, Ince Ami.
Dari kisah beliau, Hj. Ince Ami-lah yang meminta izin kepada Guru Tua agar puteri mereka, Syarifah Sa’diyah, diberikan izin menjadi guru bagi murid-murid perempuan di Alkhairaat.
‘Guru (Sayyid Idrus) kalau tidak kasih anaknya, anak perempuan mengajar di Alkhairaat, nanti seumur Alkhairaat itu nanti tidak ada guru perempuan. Jadi saya pertama-tama guru perempuan di Alkhairaat’. – Demikian permintaan Hj. Ince Ami kepada Guru Tua.
Setelah mendapatkan restu dan menjadi guru perempuan pertama di Madrasah Ibtidaiyah Alkhairaat, Syarifah Sa’diyah mengajak kelima orang temanya untuk membantunya, antara lain Ustadzah Suwaedah, ustadzah Najar, ustadzah Munayyah, ustadzah Zaenab, dan ustadzah Saodah. Syarifah Sa’diyah dan teman-temanya mengajar di kelas khusus perempuan.
Pada tahun 1955, Syarifah Sa’diyah al-Jufri yang genap berumur 18 tahun menamatkan pendidikannya dari Mualimin Alkhairaat. Oleh ayahnya, Syarifah Sa’diyah dinikahkan dengan Sayyid Idrus bin Husein al-Habsyi, salah seorang murid Sayyid Idrus yang berasal dari Ampana, Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah.
Pada tahun yang sama, bersama suaminya, Syarifah Sa’diyah menunaikan ibadah haji bersamaan dengan ibadah haji yang dilakukan oleh Presiden Sukarno. Dari pernikahannya dengan ‘Idrus bin Husein al-Habsyi, Syarifah Sa’diyah dikaruniai sembilan orang anak, antara lain:
1. Sayyid Abdul Kader Alhabsyi
2. Sayyid Abdollah Alhabsyi
3. Sayyid Salim Alhabsyi
4. Sayyid Mantovani Alhabsyi (Meninggal saat kecil).
5. Syarifah Sakinah Alhabsyi
6. Sayyid Baqir Alhabsyi
7. Sayyid Umar Alhabsyi
8. Sayyid Hasan Alhabsyi
9. Sayyid Husein Alhabsyi
Meski telah menikah dan memiliki anak, aktifitas sebagai ustadzah di Alkhairaat tidak pernah ditinggalkan oleh Syarifah Sa’diyah al-Jufri. Bahkan, pada tahun 1964, Syarifah Sa’diyah mendirikan organisasi Wanita Islam Alkhairaat (WIA) dan menjadi Ketua Umum selama 53 tahun. Dalam periode kepemimpinannya tersebut WIA telah menjadi salah satu sayap organisasi PB Alkhairaat yang mendominasi kaum hawa di bagian Timur Indonesia.
Pengalamannya dalam organisasi perempuan dan pendidikan non formal sangat banyak. Di daerah Sulawesi Tengah, Syarifah Sa’diyah tercatat pernah menjadi Ketua Yayasan Persatuan Pengajian Wanita Islam Sulawesi Tengah (YPPWI) yang berinsiatif dalam pembangunan Rumah Sakit Bersalin Siti Masitah.
Di tahun 1975, saat menemani Sayyid Idrus al-Habsyi ke pulau Jawa, Syarifah Sa’diyah menyempatkan diri untuk menambah pengetahuan dengan mengikuti kursus Merangkai Mawar di Institut Mawar selama di Surabaya. Syarifah Sa’diyah terus mengasah kemampuannya dengan menjadi utusan dari WIA dalam ajang pemilihan Ibu Teladan yang diselenggarakan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Sulawesi Tengah, pada tanggal 29 s/d 31 Agustus 1976 dan berhasil mendapatkan juara 1.
Pada tahun 1976, Syarifah Sa’diyah menginisiasi pendirian Badan Kerja Sama Wanita Islam Sulawesi Tengah (BAKESWI). Tidak terbatas pada organisasi dan peran-peran dakwah, sosial, dan pendidikan, Syarifah Sa’diyah juga pernah menjabat sebagai Anggota DPRD Kabupaten Donggala, Syarifah.
Dalam pengembangan kemandirian Ekonomi di Alkhairaat, Syarifah Sadiyah Al-Jufri dan kakaknya, Syarifah Sidah Al-Jufri juga kerap kali mendanai pendirian unit usaha di Alkhairaat seperti Swalayan Alkhairaat. Hasil yang didapatkan dari usaha tersebut kemudian dialokasikan untuk penggajian guru-guru di Alkhairaat. Hingga pada tahun 2016/2017, kedua anak pendiri Alkhairaat tersebut, yang merupakan pemegang saham di SAL dikeluarkan dan digantikan oleh investor baru.
Dari figure Syarifah Sa’diyah al-Jufri kita dapat mengambil pelajaran mengenai visi dan misi kemajuan pengembangan sumber daya manusia di organisasi Alkhairaat. Di organisasi ini, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan hak-hak pendidikan dan pengajaran.
Walupun aktif mengajar dan mengembangkan organisasi Wanita Islam Alkhairaat, Syarifah Sa’diyah al-Jufri tidak pernah melupakan perannya di rumah sebagai istri dan madrasah pertama bagi kami anak-anaknya.
Dari pengalaman kami diasuh oleh beliau, kami anak-anaknya menyaksikan bagaimana keseharian Syarifah Sa’diyah Aljufri dimulai dari salat Subuh berjamaah bersama anak-anak yang tinggal di rumah. Ketika di rumah, hari-hari beliau dipenuhi dengan bacaan Alquran, zikir dan ratib. Dimulai dari pagi hingga menjelang tidur.
Beberapa yang rutin beliau baca, sebelum dan setelah Salat Subuh, antara lain; setelah salat Subuh membaca wirid sebelum salat Fajr, Wirdu Latif imam Abdollah Al-Haddad, dan Surat Yasin. Setelah salat Asar membaca Surat Al-Waqiah. Wirdu Latif Imam Abdollah Al-Haddad beliau baca di antara waktu Magrib dan Isya. Selain itu, beliau rutin melaksanakan Qiyamul Layl.
Khusus pada malam Jumat, Syarifah Sa’diyah rutin membaca Surat Yasin, Surat Al-Waqiah, dan Surat Al-Kahfi. Bacaan Alquran dan zikir-zikir di atas merupakan warisan dari para ulama yang beliau dapatkan dari ayah beliau, al-Habib ‘Idrus bin Salim al-Jufri.
Karomah
Banyak kesaksian yang diungkapkan oleh para tokoh di lingkungan Alkhairaat mengenai karamah Syarifah Sa’diyah al-Jufri. Pada suatu kesempatan, Gubernur Maluku Utara, K.H. Abdul Ghani Kasuba, L.c. berkisah tentang doa Syarifah Sa’diyah al-Jufri yang diijabah oleh Allah swt. Sudah barang tentu, setiap kita yang telah berkeluarga ingin memiliki keturunan. Itu adalah bagian dari perintah Nabi Muhammad saw. Tentu demikian juga dengan Gubernur Maluku Utara. Beliau ingin memiliki keturunan meski telah lama menikah.
Dalam suatu kesempatan, di dalam perjalanan, beliau meminta didoakan oleh Syarifah Sa’diyah al-Jufri agar Allah swt. memberikannya keturunan. Syarifah Sa’diyah al-Jufri lantas mendoakan Gubernur Maluku Utara diberikan anak laki-laki. Masyaallah. Atas kehendak Allah swt., melalui doa Syarifah Sa’diyah al-Jufri, Allah swt. menganugerahkan anak laki-laki hadir di tengah keluarga Gubernur Maluku Utara. Dalam kesempatan yang lain, banyak abnaul khayraat yang kerap menyertai Syarifah Sa’diyah al-Jufri menyaksikan bagaimana Allah swt. memberikan kemudahan di dalam perjalanannya mengunjungi madrasah-madrasah Alkhairaat dan cabang-cabang WIA di berbagai daerah di Indonesia bagain Tengah dan Timur. Tentu saja, karamah Syarifah Sa’diyah al-Jufri tidak bisa dilepaskan dari karamah dan keberkahan ayahnya, al-Habib al-Sayyid ‘Idrus bin Salim al-Jufri.
Syair pendiri Alkhairaat, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri (Guru Tua):
بِكُم يَا حَبِيْبَ الله أرَجُو شَفَاعَةً
وَالمرتَضَى والسَّيدَيْنِ وبِالحَسَنَا
سَفِينَةُ نُوحٍ قَدْ نجَا مَن بهَا النَّجَا
هُمُو وَلَعُمرِي أدْرَكَ الفَوزَ والأمْنَا
تَمَسَّك بحِزْبِ الفَطِمِيِّينَ تَهتَدِي
فَمَنْ لَمْ يَكُن مِن حِزبِهِم يَقْرَعُ السَّنَا
وَلا بَأسَ في الدُّنْيَا عَلى مِن يُحِبُّهُمْ
وَلا خَوْفٌ في لأُخْرَى يَرَاهُ وَلا حُزْنَا
Denganmu wahai kekasih Allah aku mengharap syafaat
Dan dengan al-Murtadha, Hasan, Husain dan keduanya
Bahtera Nuh maka selamat siapa yang di dalamnya
Demi hidupku, mereka telah mendapat kemenangan dan keamanan
Berpegang teguhlah dengan kelompok Fatimah pasti mendapat petunjuk
Siapa yang bukan dari kelompoknya sungguh telah melepas ridanya
Tiada khawatir di dunia siapa yang mencintai mereka
Tiada ketakutan melihatnya di akhirat tidak pula bersedih
——————–
Rujukan:
- Wawancara dengan Hj. Syarifah Sa’diyah Al-Jufri, anak dari Pendiri Yayasan Pendidikan Islam Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua).
_______________
Jurnal:
- Martin Slama, Paths of Institutionalization, Varying Divisions, and Contested Radicalisms: Comparing Hadhrami Communities on Java and Sulawesi. Comparative Studies of South Asia and the Middle East (2011) 31 (2): 331-342.
- La Mansi, ULAMA PEREMPUAN KOTA PALU SULAWESI TENGAH: Biografi Syarifah Sa’diyah. Al-Qalam, Jurnal Penelitian Agama dan Sosial Budaya. Balai Litbang Agama Makassar. 37-48. E-ISSN: 2540-895X (online) ISSN: 0854-1221
_______________
Buku:
- Huzaemah T. Yanggo, dkk, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri Pendiri Alkhairaat dan Kontribusinya Dalam Pembinaan Umat.
_______________
Situs: