Kedatangan Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie (Guru Tua) di Kota Palu
Awal kedatangan Guru Tua di Wani, Kota Palu, Sulawesi Tengah dalam rangka memenuhi panggilan dari kakak beliau, Sayyid Alwi bin Salim Aljufri, untuk mengajar di Wani, Kabupaten Donggala pada tahun 1929 M. Dalam suratnya, Sayyid Alwi menjelaskan tentang keadaan masyarakat dan komunitas Arab yang ada di Wani.
Guru Tua yang saat itu telah memiliki keluarga di Pekalongan akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Sulawesi mengikuti saran dan arahan dari sang kakak.
Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik. Mereka pun bersama-sama mendirikan sebuah tempat yang digunakan untuk proses belajar-mengajar.
Madrasah pendidikan ini diberi nama Al-Hidayah yang mana memiliki kesamaan dengan madrasah yang telah dibangun oleh dua bersaudara, Sayyid Ali Alhabsyi dan Sayyid Abdollah Alhabsyi di Tojo Una-Una, Ampana.
Hampir setahun lamanya Guru Tua tinggal dan menetap di Wani. Hingga pada tahun 1930 M beliau pun pindah ke Kota Palu atas dukungan Raja Djanggola. Guru Tua menggunakan ruangan toko Haji Quraisy dan rumah Haji Daeng Marocca untuk proses belajar mengajar.
Dengan dukungan dari warga setempat serta konsistensi Guru Tua, pada tanggal 14 Muharram 1349 H atau 30 Juni 1930, bertempat dilantai bawah rumah Haji Daeng Marocca (depan Masjid Jami) Lembaga Pendidikan Islam Alkhairaat diresmikan.
Pernikahan Guru Tua
Perjalanan Guru Tua sebagai seorang juru dakwah dan pendidik semakin memantapkan niat beliau untuk menetap di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Indoensia. Dalam pengembangan pendidikan dan dakwah Islam Guru Tua pun memutuskan untuk menikahi salah seorang bangsawan Putri Kaili yang juga merupakan sosok perempuan yang sangat berperan dalam pengembangan Alkhairaat yang hingga kini telah beberapa kali berganti nama yayasan. Dengan ketetapan hati dan petunjuk dari Allah SWT pada tahun 1931 M Guru Tua pun menikahi Ince Ami. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang putri yaitu, Sy. Sidah binti Idrus bin Salim Aljufri 1934 M dan Sy. Sa’diyah binti Idrus bin Salim Aljufri 1937 M.
Istri pertama Guru Tua adalah Putri Sayyid Umar al-Balhi asal Hadramaut, Yaman. Dari pernikahan ini beiau dikaruniai seorang putri yaitu, Syarifah Fatimah Aljufri.
Guru Tua kemudian melangsungkan pernikahan yang kedua dengan Syarifah Bahiyah al-Bahr yang juga berasal dari Hadramaut, Yaman. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai 3 orang anak antara lain, Habib Muhammad Aljufri, Syarifah Raguan Aljufri, dan Habib Salim Aljufri.
Perlawanan Guru Tua terhadap pemerintah Inggris yang saat itu menjajah Yaman, mengakibatkan beliau harus meninggalkan Yaman dan hijrah ke Indonesia.
Di Indonesia Guru Tua mengunjungi beberapa tempat, dan melangsungkan sebanyak lima kali pernikahan.
Pernikahan ketiga Guru Tua dengan Syarifah Aminah Aljufri yang berasal dari Pekalongan. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai 3 orang anak yaitu, Syarifah Nikmah Aljufri, Syarifah Lulu Aljufri, dan Syarifah Mastura Aljufri.
Pernikahan keempat Guru Tua adalah ketika beliau berada di Jombang. Saat itu beliau hendak menemui K.H. Hasyim Asy’ari yang merupakan teman beliau ketika belajar di Mekkah.
Guru Tua sempat menetap dan mengajar di Jombang. Beliau pun menikahi salah seorang perempuan yang ber-marga al-Haddad. Dari pernikahan ini Guru Tua tidak memiliki anak.
Dari pulau Jawa, Guru Tua pun berangkat ke Sulawesi Tengah atas permintaan kakaknya untuk mengajar di derah Wani, Kabupaten Donggala. Setelah terbukanya madrasah pendidikan Al-Hidayah, Guru Tua pun menikahi Syarifah Kalsum Almahdali dan dari pernikahan ini Guru Tua tidak memiliki anak.
Setelah ditutupnya madrasah pendidikan Alhidayah, Guru Tua pun pindah ke Lembah Palu yang saat ini dikenal dengan nama Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) yang menjadi cikal bakal berdirinya Perguruan Islam Alkhairaat.
Setibanya di kota Palu, Guru Tua mengajar dirumah salah satu kerabat Hj. Ince Ami yaitu, H. Daeng Marocca. Guru Tua pun menikahi Hj. Ince Ami yang saat itu adalah janda yang memiliki banyak toko dan tanah.
Sebelum pernikahan terjadi, Hj. Ince Ami meminta kepada Guru Tua untuk memberitahukan hal tersebut kepada istrinya yang berada di Pekalongan.
Salah satu yang menarik dari pernikahan antara Guru Tua dan Hj. Ince Ami adalah sebelum pernikah itu, Hj. Ince Ami dilamar oleh Syarifah Aminah Aljufri untuk menikahi Guru Tua.
Dari pernikahan ini Guru Tua dikaruniai dua orang putri yaitu, Syarifah Sidah Aljufri dan Syarifah Sadiyah Aljufri.
Setelah pendirian Alkhairaat di Kota Palu. Guru Tua pun mulai membuka cabang madrasah Alkhairaat di daerah Ampana, Kabupaten Tojo Una-Una. Setelah pernikahan kedua putrinya, Guru Tua pun melangsungkan pernikahan dengan saudari dari kedua mantunya yaitu, Syarifah Haolah binti Husein Alhabsyi. Dari pernikahan ini Guru Tua tidak dikaruniai anak.
Guru Tua di Kampung Baru
Setelah menikah dengan Ince Ami, Guru Tua tidak lagi tinggal di Kampung Ujuna, namun beliau pindah ke Kampung Baru dirumah Ince Ami.
Untuk mengurangi padatnya jadwal Guru Tua dalam mengajar, maka Ince Ami mengusulkan kepada Guru Tua untuk mengajak muridnya, laki-laki dan perempuan, tinggal bersama mereka.
Lokasi lantai dasar dimanfaatkan oleh Ince Ami sebagai tempat tinggal bagi para murid laki-laki juga tempat mengajar Guru Tua, sedangkan bagi para perempuan, mereka tinggal dilantai dua sambil dapat terus belajar kepada Guru Tua dan Ince Ami, termasuk kedua puteri mereka, Sy. Sidah Aljufrie dan Sy. Sa’diyah Aljufrie.
Keberadaan para murid-murid ini sangat membantu kinerja Guru Tua dalam bidang pendidikan, beberapa dari mereka dikirim oleh Guru Tua ke daerah pelosok untuk mengajar.
Mesjid Jami Kampung Baru
Datangnya Islam ke Kota Palu jauh sebelum datangnya Guru Tua. Hal ini dapat dilihat dari sejarah berdirinya Mesjid Jami pada tahun 1812-1901 M oleh seorang bangsawan Bugis bernama Madika Jojokodi (1822-1890).
Dari segi arsitektur, masjid ini terbilang cukup modern, tentu jika diukur dengan kondisi pada waktu itu, tahun 1901 M. Fisik bangunannya terbuat dari tembok dengan beton bertulang. Kubahnya terbuat dari seng, termasuk juga atapnya. Dalam perkembangan selanjutnya, oleh para keturunan (ahli waris) Madika Jojokodi, yakni Parampasi, dibantu oleh dua orang tokoh agama, yakni Haji Ibrahim dan Haji Mongki, dilakukan beberapa perbaikan dan juga perluasan bangunan, termasuk dibangunnya dua buah menara masjid.
Maka, untuk mengenang para tokoh yang berjasa terhadap Masjid Jami Kampung Baru tersebut, jenazah mereka dimakamkan di halaman masjid bagian belakang. Termasuk juga imam-imam masjid yang sejak didirikan sampai hari ini sudah dijabat oleh 16 orang. Imam masjid yang pertama, yakni Imam H. Alwi Intje Ote, juga dimakamkan di halaman belakang Masjid Jami ini. Sedangkan, imam ke-16 sampai hari ini masih aktif, yakni Imam H. Abdul Rasyid Daeng Matantu.
Sumbangsih Ince Ami Terhadap Pendidikan di Alkhairaat dan Nasional
Ketika kakak beliau, Sy. Sidah Aljufrie dinikahkan dengan Habib Ali Alhabyie, Guru Tua pun hendak menikahkan Sy. Sa’diyah Aljufrie dengan Habib Idrus Alhabsyie. Namun keinginan besar dan cita-cita Sy. Sa’diyah Aljufrie untuk memajukan pendidikan perempuan Kaili membuatnya menolak untuk dinikahkan pada usia muda. Sambil menangis Sy. Sa’diyah Aljufrie melaporkan hal tersebut kepada Ince Ami.
Sy. Sa’diyah Aljufrie berkata; “Ibu saya (ite) sangat menghargai Aba. Ite tidak pernah membantah dan sangat menurut kepada Aba saya”.
Akibatnya Sy. Sa’diyah Aljufrie pun harus meninggalkan Kota Palu, Sulawesi Tengah dan tinggal bersama keluarga dari Istri Guru Tua yang ada di Solo, Jawa Tengah, hingga selama setahun lamanya Sy. Sa’diyah Aljufrie tidak dapat bersekolah. Melihat keadaan tersebut disertai dengan kerinduan untuk bertemu sang bungsu, maka Ince Ami pun memberanikan diri untuk berbicara kepada Guru Tua perihal Sy. Sa’diyah Aljufrie.
Sa’diyah Aljufrie mengatakan “Ite selalu memanggil Aba dengan panggilan Guru”.
Ince Ami mengatakan kepada Guru Tua; “Jika Guru tidak mengizinkan anak Guru untuk mengajar di Alkhairaat, maka selamanya di Alkhairaat hanya ada guru laki-laki saja”.
Hal ini merubah pandangan Guru Tua yang hendak menikahkan Sy. Sa’diyah Aljufrie dan kemudian mengizinkan Sy. Sa’diyah Aljufrie menjadi guru perempuan pertama di Alkhairaat dengan syarat bahwa Sy. Sa’diyah Aljufrie harus mengajak beberapa orang teman perempuannya untuk menjadi tenaga pengajar di Alkhairaat.
Seiring bertambahnya murid serta para lulusan yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA, Ince Ami pun mewakafkan tanah seluas 5 Hektar untuk pengembangan pendidikan di Alkhairaat yang kemudian di bangun sekolah Mualimin Alkhairaat. Salah satu murid lulusan Mualimin adalah putri beliau, Sy. Sa’diyah Aljufrie.
Di dalam Komplek Alkhairaat Pusat terdapat berbagai jenjang pendidikan dari TPA, Play Group, TK, SD, Ibtidaiyah, SMP, Tsanawiyah, Aliyah, SMA, SMK, Panti Asuhan dan Pondok Pesantren yang berada dibawah naungan Pengurus Besar Alkhairaat atau lebih dikenal dengan Yayasan Alkhairaat Pusat Palu.
Pengembangan Pendidikan di Alkhairaat
Dalam perkembangannya, ketika dilaksanakan Muktamar I pada tahun 1956, jumlah madrasah Alkhairaat tercatat sebanyak 25 buah. Keputusan penting yang dihasilkan oleh Muktamar adalah dibukanya Madrasah Lanjutan Pertama yang dipimpin oleh Ustad Abbas Palimuri dengan mengakomodasi pelajaran umum dan agama masing-masing 50 persen. Pada tahun 1963 dilaksanakan Muktamar II Alkhairaat di Ampana. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah naik menjadi 150 cabang. Pada Muktamar Alkhairaat ke 3, jumlah madrasah meningkat lagi menjadi 450 cabang, Muktamar ke 4 tahun 1980, 556 cabang. Muktamar ke 5 tahun 1986 sebanyak 732 cabang, dan hingga akhir tahun 2004, Alkhairaat telah memiliki 1.561 Madrasah/Sekolah dan 34 Pondok Pesantren yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia.
Di bidang pendidikan tinggi, Alkhairaat membuka Universitas Alkhairaat (UNISA) dengan 5 fakultas definitif dan 2 fakultas persiapan. Kelima fakultas tersebut yaitu Fakultas Agama, Pertanian, Perikanan, Ekonomi dan Sastra ditambah Fakultas Kejuruan dan Ilmu Pendidikan serta kedokteran. Sampai tahun 2004, UNISA tercatat telah mewisuda 1.841 sarjana Strata 1 dan D2.
Selain itu, untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada Keluarga Besar Alkhairaat dan masyarakat umum, dibukalah Rumah Sakit Islam S.I.S Aljufri yang diresmikan bersamaan dengan Haul ke 35 Habib Idrus Bin Salim Aljufri pada tahun 2004.
Rujukan
Wawancara :
- Wawancara dengan Hj. Sy. Sadiyah Aljufrie, Anak dari Pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Aljufrie (Guru Tua),
Buku:
- Sofyan Kambay, Perguruan Islam Alkhairaat dari Masa ke Masa
- Noor, Habib Idrus Bin Salim Aljufri; Modernis Pendidikan dan Dakwah di Tanah Kaili
- Azra, Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
- LPDI Alkhairaat
- Reinstra Universitas Alkahiraat Palu
Jurnal:
- Fogg, Kevin W. (2018). “Reinforcing Charisma in the Bureaucratisation of Indonesian Islamic Organisations”. Journal of Current Southeast Asian Affairs. Hamburg: German Institute of Global and Area Studies. 37 (1): 117–140. ISSN 1868-4882
- Alatas, Raisa (2016). “Komunikasi antar Budaya Arab Hadramaut dan Etnis Kaili di Kota Palu Sulawesi Tengah” [Communication Between Cultures of Arab Hadhramaut and Kaili Ethnic in Palu City, Central Sulawesi]. Jurnal Ilmu Komunikasi (in Indonesian). Sleman: University of National Development “Veteran” Yogyakarta. 14 (1): 117–131. ISSN 2407-8220
- Pettalongi, Saggaf S. (2015). “Education Management Analysis of Sayid Idrus Bin Salim Aljufri to Develop Education Institutions (1930-1969) (Case Study on Education Institute Alkhairaat Palu-Indonesia)”(PDF). Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 9 (11): 981–989. ISSN 1991-8178
- Nur, Minan (2016). “Pengembangan Dakwah AlKhairaat di Kota Palu” [AlKhairaat Da’wah Development in Palu City] (PDF). Al-Mishbah (in Indonesian). 12 (1): 29–42. ISSN 2442-2207
Terkait:
Penulis: Alfagih Mugaddam