Home Alkhairaat Ince Ami, Sosok Khadijah dari Alkhairaat

Ince Ami, Sosok Khadijah dari Alkhairaat

94
0

dalam sejarah panjang berdirinya Alkhairaat sebagai lembaga pendidikan Islam terbesar di kawasan timur Indonesia, nama Hj. Ince Ami, atau yang akrab disapa Ite, tak bisa dipisahkan. Ia adalah salah satu istri dari pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua), dan menjadi sosok penting di balik layar perjuangan dakwah dan pendidikan sang ulama besar. Dalam banyak kisah, peran Ite kerap disamakan dengan Sayyidah Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW—perempuan mulia yang mengorbankan harta dan kehidupannya untuk Islam.

Seperti Khadijah yang mewakafkan kekayaannya demi dakwah Rasulullah, Ite pun melakukan hal serupa di Lembah Palu. Berasal dari kalangan bangsawan Kaili, Ite memiliki kekayaan berlimpah, yang kemudian ia salurkan sepenuhnya untuk mendukung perjuangan suaminya dalam mendirikan dan mengembangkan Alkhairaat.

Rumah Jadi Asrama, Harta Jadi Wakaf

Peran besar Ite terlihat sejak awal berdirinya Alkhairaat. Ia menjadikan rumah pribadinya sebagai asrama bagi para pelajar yang datang dari berbagai daerah. Tanpa memungut biaya, rumah bertingkat miliknya diatur menjadi tempat tinggal: lantai bawah untuk santri laki-laki, dan lantai atas dihuni oleh santri perempuan bersama dirinya dan Guru Tua.

“Rumahnya Ite itu dua lantai. Lantai bawah untuk tempat tinggal laki-laki, sedangkan perempuan tinggal di atas bersama Ite dan Guru Tua,” tutur Habib Salim bin Syehk Abu Bakar (Habib Mem).

Tak hanya menyediakan tempat tinggal, Ite juga mewakafkan tanah di Jalan Sis Aljufri, yang kemudian dibangun menjadi rumah dan asrama untuk santri laki-laki, termasuk menantu-menantu Guru Tua dari keluarga Alhabsyi.

Mendirikan Mualimin dan Memperluas Cabang Madrasah

Kesungguhan Ite tidak berhenti sampai di situ. Ia kembali mewakafkan sebidang tanah seluas lima hektare yang menjadi cikal bakal Komplek Alkhairaat Pusat, tempat berdirinya Madrasah Mualimin Alkhairaat setingkat SMA. Dari sinilah Alkhairaat tumbuh pesat. Para lulusan Mualimin kemudian dikirim ke berbagai daerah untuk mendirikan cabang dan menjadi guru di madrasah-madrasah Alkhairaat.

Hubungan darah Ite dengan kalangan kerajaan di Lembah Palu dan Sigi serta keterlibatannya dalam Sarekat Islam (SI) memperkuat jaringan Alkhairaat, membuka peluang pendirian cabang madrasah di berbagai penjuru Sulawesi Tengah.

Tetap Mengajar Saat Masa Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, ketika seluruh kegiatan pendidikan dihentikan dan madrasah Alkhairaat ditutup paksa, Ite tetap melanjutkan semangat pendidikan. Ia mengubah rumahnya menjadi ruang belajar darurat, menggunakan lampu minyak sebagai penerangan.

“Waktu Jepang tutup madrasah, kami belajar di rumah. Ibu saya (Ite) adalah guru mengaji, dan beberapa murid senior mengajar kami,” kenang Syarifah Sadiyah binti Idrus Aljufri, putri Ite dan Guru Tua.

Untuk menjaga keberlangsungan hidup santri dan keluarga, Ite juga mengupayakan bantuan pangan dari keluarganya di Sigi dan Pewunu. Bersama Guru Tua, Syarifah Sadiyah mengenang perjalanan mereka mengangkut sembako dengan gerobak demi menyambung kehidupan.

Permintaan Terakhir Seorang Istri Pejuang

Di akhir hayatnya, Ite menyampaikan satu permintaan sederhana namun penuh makna: dimakamkan di sisi suaminya, Guru Tua. Permintaan itu dikabulkan. Ince Ami wafat pada hari ke-11 bulan Ramadan, dan kini beristirahat abadi di area Masjid Alkhairaat, Komplek Alkhairaat Pusat, bersebelahan dengan makam suaminya, pendiri Alkhairaat.

“Sebelum meninggal, Ite meminta izin kepada Aba (Guru Tua) untuk dimakamkan di dekat kuburnya. Aba saya pun mengizinkan,” ungkap Syarifah Sadiyah.


Ite adalah simbol ketulusan dan pengorbanan. Ia bukan sekadar istri dari seorang ulama besar, melainkan pondasi diam yang menopang tumbuhnya Alkhairaat. Sejarah tak akan melupakan peran seorang perempuan dari Lembah Palu yang memilih mengabdi dengan harta, jiwa, dan cinta untuk pendidikan dan dakwah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here